Senin, 27 April 2009


Noer Halimah Hadir Dengan Lagu "Rumput Tetangga"

Harian Suara Pembaruan, 12 Agustus 1999

JAKARTA - Bukan hanya wajahnya yang jelita. Suaranya ketika berdendang sering membuat hati orang terpikat. Termasuk Rhoma Irama. Raja dangdut itu sempat menggaetnya untuk berduet. Setelah lama menyepi, peraih penghargaan ''Penyanyi Dangdut Berpenampilan Terbaik 94 versi PAMMI'' itu ingin hadir kembali. ''Saya percaya penggemar saya tetap menunggu,'' kata Noer Halimah.

Wanita ayu kelahiran 9 September di Jombang, Jawa Timur ini sepertinya memang digariskan untuk jadi penyanyi. Ketika ia ingin beralih usaha di jalur bisnis lain, hatinya malah gunda. Dalam kegundahan itulah akhirnya muncul gairah baru bermusiknya yang menggebu.

Album terbarunya berjudul Rumput Tetangga, hasil dari endapan hati yang gundah, sekaligus dijadikan penghantar kerinduan para pengagumnya pada kejelitaan suaranya. ''Proses album ini hampir memakan waktu setahun,'' tuturnya.

Kisahnya menjadi penyanyi cukup unik. Sekian tahun lalu, Noer yang masih duduk di bangku SD kelas IV tiba-tiba naik ke atas panggung dalam suatu konser musik di kotanya. Di atas panggung seorang superstar dangdut sedang beraksi. Gadis itu tidak perduli, dia mengatakan ingin menyumbang nyanyi.

Rhoma Irama bersama grup Soneta tidak marah dan merasa terganggu dengan kelancangan gadis itu. Mereka malah mengajaknya menyanyi bersama. Dan, massa pengagum Rhoma Irama yang semula tak tahan dengan ulah gadis itu, berbalik kagum ketika mulai mendengarkan dendang si cantik mungil itu. Gadis kecil tersebut adalah Noer Halimah. ''Saya waktu itu diajak duet dengan Rhoma,'' kenangnya.

Bakat menyanyinya memang sudah ada dalam dirinya. Sejak kecil dia aktif menjadi penyanyi Qasidah di kampungnya, desa Ngoro. Peristiwa kelancangannya muncul di panggung memang sempat membuat desanya geger. Tapi peristiwa tersebut akhirnya berlalu begitu saja.

Dan suatu hari, saat Noer sudah mulai remaja dan duduk di bangku SMP, Rhoma Irama yang sedang tur ke Jombang dikagetkan lagi dengan munculnya gadis cantik di atas pentasnya. Ingin menyumbang lagu.

Saat itu Rhoma lebih terpana, bukan hanya pada keberanian Noer Halimah, tapi juga suaranya yang memang merdu. ''Ketika saya sudah di SMA, dan Rhoma tur di Surabaya saya dicari untuk menjadi partner duetnya,'' kenang Noer.

Selesai duet di panggung, Noer tak menyangka bila akhirnya Rhoma malah mengajaknya untuk rekaman. ''Ketika itu partner duetnya Rita Sugiharto sudah bersolo karier. Saya dipilih jadi pengganti,'' lanjut Noer lagi.

Bisa menyumbang lagu di pentas Soneta saat itu sudah dianggap luar biasa, apalagi ditetapkan dan dipilih jadi teman duet si raja dangdut. Tentu hal itu merupakan kebanggaan bagi setiap penyanyi dangdut saat itu. Termasuk Noer Halimah.

Bersama Soneta dan Rhoma Irama, Noer Halimah melahirkan beberapa album duet, di antaranya Pesona yang dijadikan soundtrack film Satria Bergitar dan Piano sempat melegenda. ''Kemudian saya memisahkan diri dan bersolo karir,'' kata Noer.

Perpisahannya dengan Rhoma sempat mengundang tanda tanya banyak orang, tak kurang pengamat musik dan pers juga penasaran atas mundurnya Noer dari Soneta.

Penyanyi cantik ini juga sempat mempunyai kekhawatiran bila buntut perpisahan diri itu akan mengundang gosip yang bukan-bukan. ''Antara saya dan Rhoma memang tidak ada apa-apa, lagi pula pengunduran untuk bersolo karir itu dianggap sebuah tekad baik oleh Rhoma akhirnya langkah saya itu didukung juga,'' tandas Noer lagi.

Pemilik vokal merdu yang gemar rekreasi di gunung ini malah sempat melahirkan album solo di Soneta Productions. Di antaranya yang sempat jadi hit adalah album Bayang-bayang, Surat Merah dan yang terakhir muncul tahun1998 Cemara Biru.

''Album tersebut sebenarnya dibuat tahun 1995 dan entah mengapa tiga tahun kemudian baru beredar,'' lanjutnya. Saat menunggu selama tiga tahun merupakan waktu yang melelahkan buat Noer Halimah. ''Saya memang jarang show lagi. Maklum, krisis moneter. Saya lalu memilih mendirikan usaha bengkel mobil,'' katanya.

Di sela-sela kesibukan barunya itu, tawaran kontrak datang dari Dian Record. Perusahaan rekaman tersebut merasa sayang bila Noer Halimah hilang tertelan putaran zaman. ''Dia penyanyi potensial. Jarang penyanyi dangdut yang memiliki karakter suara natural sepertinya. Cengkoknya bagus dan vokalnya khas,'' ujar Budi dari Dian Record.

Menurut Noer, lagu Rumput Tetangga berkisah tentang pria yang mata keranjang. Sudah mempunyai pacar yang mencintainya, masih juga melirik milik orang lain. ''Semacam sindiran pada perilaku pria zaman sekarang,'' tegas Noer.

Untuk menyesuaikan tema lirik, lagu karya Hendro Saky dan Eko Saky tersebut dibuat kenes, lincah dan menggemaskan. Berangkat dari tuntutan tersebut, ada semacam tantangan baginya. ''Orang mengenal saya selalu menyanyikan lagu sendu. Dalam lagu itu saya harus berubah. Ada perjuangan yang membuat saya bergairah untuk maju, yaitu tantangan tampil beda,'' kata Noer.

Lagu itu Rumput Tetangga itu pulalah yang diangkat untuk videoklipnya.

Senin, 06 April 2009

Penyembuh kanker dari tumbuhan Keladi Tikus (Typhonium Flagelliforme)

Dikirim oleh agul di kategori Kesehatan

Keladi Tikus

Kanker tidak lagi mematikan. Para penderita kanker di Indonesia dapat memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “keladi tikus” (Typhonium Flagelliforme / Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lain.

Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 sentimeter ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Drs.Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia. Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Dr Chris K.H. Teo,Dip Agric (M), BSc Agric (Hons)(M), MS, PhD dari Universiti Sains Malaysia dan juga pendiri Cancer Care Penang, Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris , Australia , Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Keladi TikusDi Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan,Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut. “Sebelum menjalani kemoterapi,dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapiakan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi.

Umbi Keladi TikusSelama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker. “Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysia untuk membeli teh tersebut,” ujar Patoppoi yang juga ahli biologi. Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996. “Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak Jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia, ” kenang Patoppoi sambil tersenyum. Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya. Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana . Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu. Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi.
Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat. Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu. Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni. Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi. Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi. Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasikan bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia . Kemudian Dr. Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia, Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia .

Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang. Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut. Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo. Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos. Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif. Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang, Malaysia. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia . Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya dimasukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya. Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo.

Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. “Dosis yang diperlukan tergantung penyakit yang diderita,” kata Boni. Untuk mendapatkan obat tersebut, penderita harus mengisi formulir yang menanyakan keadaan dan gejala penderita dan akan dikirimkan melalui fax ke Dr. Teo. “Formulir tersebut dapat diisi disini, dan akan kami fax-kan. Kemudian Dr. Teo sendiri yang akan mengirimkan resep sekaligus obatnya, dengan harga langsung dari Malaysia , sekitar 40-60 Ringgit Malaysia ,” lanjut Boni. “Jadi pasien hanya membayar biaya fax dan obat, kami tidak menarik keuntungan, malahan untuk yang kurang mampu, Dr.Teo bisa memberikan perpanjangan waktu pembayaran.” tambahnya. Sebenarnya pengobatan ini juga didukung dan sedang dicoba oleh salah satu dokter senior di Surabaya, pada pasiennya yang mengidap kanker ginjal. Ada dua pasien yang sedang dirawat dokter yang pernah menjabat sebagai direktur salah satu rumah sakit terbesar di Surabaya ini. Pasien pertama yang mengidap kanker rahim tidak sempat diberi pengobatan dengan keladi tikus, karena telah ditangani oleh rekan-rekan dokter yang telah memiliki reputasi. Setelah menjalani kemoterapi dan radiologi, pasien tersebut mengalami kerontokan rambut, kulit rusak dan gatal, dan selalu muntah. Tetapi pada pasien kedua yang mengidap kanker ginjal, dokter ini menanganinya sendiri dan juga memberikan pil keladi tikus untuk membantu proses penyembuhan kemoterapi. Pada pasien kedua ini, tidak ditemui berbagai efek yang dialami penderita pertama, bahkan pasien tersebut kelihatan normal. Tetapi dokter ini menolak untuk diekspos karena menurutnya, pengobatan ini belum resmi diteliti di Indonesia . Menurutnya, jika rekan-rekannya mengetahui bahwa dia memakai pengobatan alternatif, mereka akan memberikan predikat sebagai “ter-kun” atau dokter-dukun. “Disinilah gap yang terbuka antara pengobatan konvensional dan modern,” kata dokter tersebut. Banyak hal menarik yang dialami Boni selama menerima dan memberikan bantuan kepada berbagai pasien. Bahkan ada pecandu berat putaw dan sabu-sabu di Surabaya , yang pada akhirnya pecandu tersebut mendapat kanker paru-paru. Setelah mendapat vonis kanker paru-paru stadium III, pasien tersebut mengkonsumsi pil dan teh dari Cancer Care. Hasilnya cukup mengejutkan, karena ternyata obat tersebut dapat mengeluarkan racun narkoba dari peredaran darah penderita dan mengatasi ketergantungan pada narkoba tersebut. “Tapi, jika pecandu sudah bisa menetralisir racun dengan keladi tikus, dia tidak boleh memakai narkoba lagi, karena pasti akan timbul resistensi. Jadi jangan seperti kebo, habis mandi berkubang lagi,” sambung Boni sambil tertawa. Juga ada pengalaman pasien yang meraung-raung kesakitan akibat serangan kanker yang menggerogotinya, karena obat penawar rasa sakit sudah tidak mempan lagi. Setelah diberi minum sari keladi tikus, beberapa saat kemudian pasien tersebut tenang dan tidak lagi merasa kesakitan. Menurut data Cancer Care Malaysia , berbagai penyakit yang telah disembuhkan adalah berbagai kanker dan penyakit berat seperti kanker payudara, paru-paru, usus besar-rectum, liver, prostat, ginjal, leher rahim, tenggorokan, tulang, otak, limpa, leukemia, empedu, pankreas, dan hepatitis. Jadi diharapkan agar hasil penelitian yang menghabiskan milyaran Ringgit Malaysia selama 5 tahun dapat benar-benar berguna bagi dunia kesehatan.